Kata "Obstetri" atau "Obstetrix" dalam bahasa latin rupanya ada hubungannya dengan kata "Obstare", yang berarti berdiri di sampingnya dalam hal ini di samping wanita yang sedan bersalin. Akan tetapi keterangan ini tidak di terima oleh semua pihak. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata aslinya ialah "Adstetrix" yang berarti membantu orang yang sedang bersalin.
Ilmu kebidanan menjadi dasar usaha-usahayang dalam bahasa inggris di namakan maternity care. Menurut definisi WHO Expert Committe on Maternity Care yang kemudian di ubah sedikit oleh WHO Expert Committe on the Midwife in Maternity Care tujuan Maternity Care atau pelayanan kebidanan ialah "menjamin, agar setiap wanita hamil dan wanita menyusui bayinya dapat memelihara kesehatannya sesempurna-sempurnanyaagar wanita hamil melahirkan bayi sehat tanpa gangguan apapun dan kemudian dapat merawat bayinya dengan baik".
Pelayanan Kebidanan dalam arti yang tebatas terdiri atas :
- Pengawasan serta penanganan wanitadalam masa hamil dan pada waktu persalinan;
- Perawatan dan pemeriksaan wanita sesudah persalinan;
- Perawatan bayi yang baru lahir; dan
- Pemeliharaan laktasi.
SEJARAH KEBIDANAN
Pada suatu masa dalam sejarah evolusi manusia di dunia terdapat kepercayaan di antara semua bangsa bahwa kehidupan manusia serta alam di sekitarnya di kuasai oleh kekuatan-kekuatan gaib. Kekuatan-kekuatan ini dapat mempunyai pengaruh baik atau buruk atas keselamatan manusia, termasuk kesehatannya; oleh karena itu, orang yang sakit serta keluarganya berdaya upaya dengan berbagai jalan, agar pengaruh yang membahayakan dapat di singkirkan dari lingkungan orang yang sedang menderita. Dalam hubungan ini terdapat orang-orang yang oleh masyarakat sekitarnya di anggap lebih mampu untuk menjadi perantara antara manusia biasa dan kekuatan gaib. Mereka yang mempunyai kemahiran itu merupakan golongan yang di segani, dan mempunyai kedudukan yang terhormat dalam masyarakat.
Akan tetapi, disamping adanya kepercayaan yang di uraikan di atas, manusia di anugrahi pula dengan daya observasi, daya berpikir, daya menghubungkan apa yang di alami dengan apa yang di pikirkan, serta daya untuk mengumpulkan dan menyimpan pengalaman-pengalaman dalam ingatannya. Daya observasi dan daya asosiasi memungkinkan dia untuk menambah pengetahuannya mengenai anatomi dan fungsi berbagai alat dalam tubuh manusia. Dengan pengetahuan yang terbatas dan sering salah tentang anatomi dan fisiologi alat-alat itu, ia dapat menghubungkan berbagai penyakit dengan terganggunya fungsi alat-alat tertentu. Hal itu dipakai sebagai dasar bagi usaha-usaha untuk menyembuhkan penderita dari penyakit-penyakit bersangkutan.
Lambat laun terdapat golongan orang yang di kenal dan di akui oleh masyarakat sebagai dokter, dalam bahwa mereka mempunyai kecakapan untuk menyembuhkan oarng sakit. Demikianlah lambat laun - pada bangsa yang satu hal itu terjadi lebih cepat dari pada bangsa yang lain - tedapat pemisahan antara golongan dokter dan golongan yang melayani kebutuhan masyarakat dalam hal-hal yang bersangkutan dengan kerohanian.
Dalam sejarah manusia terdapat peradaban-peradaban, di antaranya di Yunani dan Romawi, di India dan Tiongkok, dimana praktek kedokteran sudah mencapai tingkat yang tinggi. Tanpa mengurangi jasa-jasa orang lain yang telah memajukan teori dan praktek kedokteran, perlu di sebut nama Hippocrates yang hidup dari tahun 460 sampai 377 sebelum Masehi dan yang di anggap sebagai Bapak Ilmu Kedokteran.
Sedang para dokter pri menjalankan praktek kedokteran tehadap beraneka ragam penyakit, pertolongan pada wanita-wanita dalam masa dan saat persalinan hampir seluruhnya di serahkan kepada wanita-wanita penolong bersalin. Hanya bila mana timbul kesulitan yang tidak dapat mereka atasi, barulah diminta bantuan tenaga-tenaga pria, yang - karena kebanyakan diantara mereka tidak mempunyai pengetahuan dan pengalaman khusus dalam bidang kebidanan - umumnya tidak dapat memberi pertolongan yang sempurna.
Wanita-wanita yang memberi pertolongan pada kehamilan dan persalinan, kecuali mereka yang hidup dalam zaman Yunani dan Romawi, umumnya tidak mempunyai pengetahuan banyak tentang kebidanan. Mereka memperoleh pengetahuannya dari penolong-penolong bersalin lain yang menjadi gurunya dan dari apa yang mereka alami dalam praktek sehari-hari. Kiranya mereka dapat di samakan dengan dukun bayi di negeri kita.
Walaupun para dokter pri pada umumnya tidak melakukan praktek dalam bidang kebidanan, namun di antara mereka terdapat orang-orang yang menaruh perhatian besar terhadap fisiologi dan patologi kehamilan dan persalinan. Termasuk di antaranya Hippocrates, Soranus, Rufus, Galenus, Celsus, dan lain-lain.
Uterus diketahui sebagai tempat pertumbuhan janin, dan (v) yang mula-mula dianggap sebagai bagian uterus kemudian diketahui sebagai alat yang mempunyai identitas sendiri. Kehamilan terjadi karena penyatuan "air mani pria" dengan "air mani wanita". Air mani pria diketahui berasal dari testis, akan tetapi karena ovarium belum dikenal, air mani wanita di duga berasal dari beberapa tempat pada tubuh wanita yang kemudian disalurkan kedalam uterus. Pemeriksaan vaginal juga telah dilakukan. Demikian pula versi pada kaki pada letak-lintang sudah dijalankan, mula-mula pada janin mati, kemudian pada janin hidup. Seksio sesarea pada ibu yang meninggalpun sudah di ketahui.
Yang di uraikan di atas merupakan beberapa contoh pengetahuan dalam bidang kebidanan yang di himpun beberapa abad sesudah permulaan tahun Masehi. Dalam abad-abad berikutnya tidak tampak kemajuan dalam pengetahuan tersebut. Pada umumnya para dokter yang hidup pada zaman itu hanya mengulangi apa yang sudah diketahui sebelumnya tanpa banyak menambah pengetahuan dengan penemuan-penemuan atau pikiran-pikiran baru.
Keadaan mulai berubah sesudah bedah mayat menjadi lebih umum. Pengetahuan tentang anatomi alat-alat dalam tubuh manusia sangat di perkaya olehnya, dan pengetahuan tentang fisiologi menyusul. Dengan bedah mayat perubahan-perubahan patologik pada berbagai penyakit dapat pula lebih di kenal. Hal itu lebih memperdalam pengertian tentang berbagai penyakit dan menyempurnakan diagnostik serta pengobatannya. Di antara ilmu-ilmu, Ilmu bedah menunjukan kemajuan yang pesat.
Bersama-sama dengan perkembangan tersebut di atas mulai dari abad ke-16 para ahli bedah Perancis di bawah pimpinan Ambroise Pare memberikan banyak perhatian kepada kesulitan-kesulitan dalam persalinan yang memerlukan penyelesaian dengan jalan pembedahan. Berkat usaha mereka Ilmu Kebidanan - khususnya bagian pembedahannya - menjadi cabang Ilmu Bedah. Lambat laun, dengan lebih mendalamnya pengetahuan tentang panggul, tentang anatomi dan fisiologi alat-alat kandungan, tentang fisiologi serta patologi sebagai ilmu persalinan, Ilmu Kebidanan berhasil mencapai kedudukan sebagai ilmu tersendiri dalam rangka ilmu-ilmu kedokteran lainnya. Hal itu menyebabkan meningkatnya minat banyak dokter untuk khusus mencurahkan pikiran dan tenaganya dalam mengembangkan teori dan praktek kebidanan.
Sementara itu dirasakan keperluan untuk menyempurnakan pendidikan para wanita yang memberi pertolongan dalam persalinan. Dalam tahun 1513 Eucharius Roeslin menerbitkan buku pelajaran untuk penolong bersalin yang berjudul "Der Schwangern Frauen und Hebammen Rosengarten". Walaupun buku ini tidak menyiarkan hal-hal baru, namun artinya hal bahwa untuk pertama kali Ilmu Kebidanan tidak di tulis dalam bahasa latin, melainkan dalam bahasa nasional.
Sekolah bidan pertama yang memberi pelajaran teratur dibuka dalam tahun 1598 di Munchener Gebaranstalt, yang kemudian di ikuti oleh sekolah bidan lain. Yang terkenal ialah sekolah di hotel Dieu di Paris dan Gebaranstalt des Burgerpitals di Strassburg. Sekolah yang terakhir ini menjadi contoh sekolah-sekolah bidan di Jerman. Sekarang sekolah-sekolah bidan di temukan di seluruh pelosok dunia.
Perkembangan baru, yang berdasar atas kemajuan pengetahuan dalam fisiologi dan patologi ilmu kebidanan, dimulai dalam abad ke-19 dan berlangsung terus dalam abad sekarang. Perkembangan ini menekankan hal prevensi dalam kebidanan. Lambat laun meluas kesadaran bahwa banyak penyakit dan kelainan dalam masa hamil, persalinan, dan nifas, dapat di cegah atau dapat di ketahui lebih dini, sehingga dapat di usahakan menghindarkan akibat-akibat buruk yang dapat di timbulkannya.
Walaupun dalam buku-buku yang di terbitkan sebelumnya soal-soal bersangkutan dengan penyakit-penyakit dalam masa hamil sudah disebut secara sepintas lalu, namun buku pertama yang khusus membahas penanganan wanita hamil di tulis dalam tahun 1837 oleh Thomas Bull. Pinard dalam tahun 1878 menulis pula tentang bahaya kelainan letak janin dalam uterus dan menganjurkan pemeriksaan wanita hamil untuk mengetahui letak janin dalam kandungan. Selanjutnya dalam tahun 1895 beliau memberitahukan tentang adanya rumah di Paris untuk merawat wanita hamil yang telantar, dan menerangkan bahwa bayi-bayi yang dilahirkan oleh wanita-wanita ini umumnya lebih besar dan sehat daripada bayi dari wanita-wanita yang bekerja terus sampai persalinan mulai.
Di Inggris (Edinburg), dalam tahun 1899 mulai di sediakan pula tempat untuk merawat wanita hamil pada The Royal Maternity Hospital. Dokter yang paling berjasa dalam menganjurkan diadakannya pro-maternity hospital untuk wanita hamil yang memerlukan perawatan, ialah Dr. Ballentyne.
Selanjutnya di Amerika Serikat (Boston) dilangsungkan usaha baru, dimana anggota-anggota Instructive Nursing Association mengatakan kunjungan rumah secara rutin pada wanita-wanita hamil. Akhirnya, dalam tahun 1911 di dirikan klinik wanita hamil. Prakarsa ini di contoh oleh negara-negara lain, dan kini klinik antenatal sudah tersebar di seluruh dunia. Dengan hal ini dan dengan peningkatan usaha pencegahan pada pertolongan persalinan, kebidanan memasuki lingkungan preventive health.
PERKEMBANGAN PELAYANAN KEBIDANAN DALAM SETENGAH ABAD TERAKHIR DI NEGARA-NEGARA MAJU
Biarpun - seperti di uraikan di atas - mulai abad ke-16 menjadi kemajuan yang nyata dalam pengetahuan kebidanan dan praktek kebidanan, namun 50-60 tahun yang lalu pelayanan kebidanan dalam banyak negara yang sekarang tergolong negara maju masih jauh dari baik. Douglas Baird pada Ingleby lecture dalam tahun 1960 masih menyatakan : "In the Glasgow Maternity Hospital, during the 1920's we were dealing with a concentration of abnormal midwifery, the like of which has probably never be seen anywere else in Britain; but the state of midwifery all over the country was bad, and national enquiries showed both in England and Wales and in Scotland that many deaths could have been avoided".
Kematian Maternal
Umumnya ukuran yang di pakai untuk menilai baik-buruknya keadaan pelayanan kebidanan (maternity care) dalam suatu negara atau daerah ialah kematian maternal (maternal mortality). Menurut definisi WHO "Kematian maternal ialah kematian seorang wanita waktu hamil atau dalam 42 hari sesudah berakhirnya kehamilan oleh sebab apapun, terlepas dari tuanya kehamilan dan tindakan yang dilakukan untuk mengakhiri kehamilan". Sebab-sebab kematian ini dapat di bagi dalam 2 golongan, yakni yang langsung di sebabkan oleh komplikasi-komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas, dan sebab-sebab yang lain seperti penyakit jantung, kanker, dan sebagainya (associated causes). Angka kematian maternal (maternal mortality rate) ialah jumlah kematian maternal di perhitungkan terhadap 1000 atau 10.000 kelahiran hidup, kini di beberapa negara malahan tehadap 100.000 kelahiran hidup.
Kemajuan yang telah di capai dalam kira-kira setengah abad terakhir telah di umumkan oleh banyak penulis. Di Inggris angka kematian menurun dari 44,2 per 10.000 kelahiran dalam tahun 1928 menjadi 2,5 per 10.000 dalam tahun 1970 (Chamberlain dan Jeffcoate, 1966, Stallworthy, 1971). Perkembangan ini terlihat pula pada semua negara-negara maju; umumnya angka kematian maternal kini di negara-negara itu berkisar antara 1,5 dan 3,0 per 10.000 kelahiran hidup.
Angka kematian yang tinggi setengah abad yang lalu umumnya mempunyai dua sebab pokok;
(1) Masih kurangnya pengetahuan mengenai sebab-musabab dan penanggulangan komplikasi-komplikasi penting dalam kehamilan, persalinan, serta nifas;
(2) Kurangnya pengertian dan pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi ; dan
(3) Kurang meratanya pelayanan kebidanan yang baik bagi semua yang hamil.
Setengah abad yang lalu sebab-sebab penting kematian maternal ialah :
1. Sepsis Puerperalis
Walaupun Semmelweiss sudah pada tahun1874 menunjukkan bahwa sepsis puerperalis disebabkan oleh infeksi dan bahwa dokter dan bidan seringkali merupakan pembawa infeksi itu pada wanita yang sedang bersalin, namun masih jauh dalam abad ke 20 hal ini belum di terima secara umum dikalangan para dokter. Baru setelah dengan kemajuan ilmu mikrobiologi di buktikan bahwa sebab utama penyakit tersebut ialah berbagai jenis streptokokus, bahwa kuman-kuman tersebut di bawa oleh dokter, bidan, atau tenaga lain yang menghadiri persalinan itu, atau oleh wanita lain yang sedang menderita penyakit tersebut, dan bahwa dapat dilakukan tindakan-tindakan untuk mencegah timbulnya serta menjalarnya penyakit. Akan tetapi, pemberantasan yang sungguh-sungguh berhasil baru tercapai dengan di temukannya obat-obat sulfonamide dan kemudian penisilin.
2. Perdarahan
Sebab-sebab perdarahan yang penting ialah perdarahan antepartum (plasenta previa dan solusio plasenta) dan perdarahan postpartum (retensio plasenta, atonia uteri, trauma kelahiran); selanjutnya abortus dan kehailan ektopik. Frekuensi kematian maternal dalam hal ini juga turun, terutama dengan penggunaan tranfusi darah secara rutin pada kejadian itu. Selain itu ada faktor-faktor lain yang ikut membantu, yakni organisasi pelayanan kebidanan yang lebih baik sehingga pertolongan dapat di berikan dengan lebih cepat, kemajuan dalam penanganan berbagai kelainan seperti plasenta previa, dan atonia uteri postpartum, paritas yang rendah pada wanita-wanita, serta keadaan sosial-ekonomis yang lebih baik di negara-negara maju.
3. Gentosis (dahulu di kenal sebagai taksemia gravidarum)
Istilah ini menampung pre-eklampsia, eklampsia, dan kelainan-kelainan dalam kehamilan yang berdasarkan hipertensi menahun, penyakit ginjal, dan sebagainya. Dengan perluasan dan peningkatan mutu pengawasan antenatal yang dapat di nikmati oleh hampir semua wanita hamil, maka walaupun sebab-sebab pre-eklampsia dan eklampsia tidak di ketahui angka kematian di sini dapat pula di turunkan.
4. Perlukaan Kehamilan
Dahulu perlukaan kehamilan merupakan sebab kematian maternal yang tidak jarang di temukan berhubung dengan tindakan-tindakan bedah vaginal yang sukar, akan tetapi dengan kemajuan dalam ilmu dan praktek kebidanan, tindakan-tindakan itu dalam banyak hal dapat di hindarkan atau di ganti dengan tindakan yang lebih aman.
5. Angka kematian maternal karena trombo-embolismus, dan karena sebab-sebab diluar kehamilanseperti penyakit jantung dan sebagainya menurun pula dengan lebih sempurnanya usaha-usaha untuk mencegah dan atau mengawasi serta menangani penyakit-penyakit yang bersangkutan.
Penurun angka kematian maternal yang mengagumkan itu di capai dengan penurunan secara proporsional sebagai sebab kematian yang penting, kecuali untuk angka sepsis yang angka turunnya dalam persen lebih banyak dari pada angka-angka lain.
Jika di ambil kesimpulan mengenai faktor-faktor yang menyebabkan penurunan angka kematian maternal, perlulah di sebut :
a) Kemajuan dalam ilmu dan praktek kedkteran, seperti penemuan obat-obat baru, lebih sempurnanya beberapa teknik pembedahan, lebih banyaknya di gunakan transfusi darah, dan lain-lain;
b) Lebih sempurnanya serta meluasnya fasilitas-fasilitas untuk memberi pelayanan kebidanan yang baik;
c) Leih baiknya mutu tenaga-tenaga yang memberi pelayanan dalam bidang kebidanan;
d) Faktor-faktor sosial; lebih sempurnanya kesehatan dan lebih baiknya makanan rakyat padaumumnya.
Akan tetapi, walaupun di negara-negara maju telah di capai hasil-hasil yang sangat memuaskandalam hal menurunkan angka kematian maternal, analisis yang lebih teinci mengenai sebab-sebabnya menunjukkan bahwa masih tidak jarang tejadi kematian yang sebetulnya dapat di cegah, dan yang di sebabkan oleh kesalahan dokter, bidan, atau wanita hamil yang bersangkutan. Berhubung dengan itu masih dapat dilakukan usaha-usaha terus menerus untuk lebih menurunkan angka kematian maternal, dan untuk menjaga agar hasil yang sekarang dicapai jangan sampai mundur lagi.
Kematian Perinatal
Dengan tecapainya kematian maternal serendah itu, maka sekarang kematian bayi di anggap sebagai ukuran yang lebih baik serta lebih peka untuk menilai kualitaspelayanan kebidanan. Untuk ini di gunakan angka kematian perinatal (perinatal mortality rate) yang terdiri atas sejumlah anak yang tidak menunjukkan tanda-tanda hidup waktu dilahirkan, di tambah dengan jumlah anak yang meninggal dalam minggu pertama dalam kehidupannya, untuk 1000 kelahiran. Penurunan jumlah kematian perinatal dapat dicapai - disamping dengan membuat persalinan seaman-amannya bagi bayi - dengan mengusahakan agar janin dalam kandungan dapat hidup dalam kondisi yang sebaik-baiknya.
Hal ini menjadi dorongan kuat untuk lebih mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan janin dalam uterus, termasuk apa yang menyebabkan prematuritas (sebagian bayi yang meninggal dalam minggu pertama ialah bayi prematur). Perkembangan ini pembuka bidang yang luas serta baru bagi ilmu kebidanan. Bila dahulu banyak perhatian di berikan kepada faktor-faktor mekanis dalam ilmu kebidanan, kini perhatian beralih kepada hal-hal yang bersangkutan dengan fisiologi, patologi, bio-kimia, endokrinologi, dan lain-lain dalam ilmu kebidanan. Masalah-masalah mengenai gangguan tumbuhnya janin karena plasenta tidak berfungsi baik, pengaruh obat-obat terhadap tumbuhnya alat-alat pada mundigah serta janin, penyakit-penyakit janin karena kelainan susunan kromosom dan sebagainya menjadi pusat perhatian.
Sedang angka keamtian bayi (infant mortality rate), yakni angka kematian bayisampai umur satu tahun, d negara-negara maju telah turun dengan cepat dan sekarang mencapai angka di bawah 20 pada 1000 kelahiran. Penurunan angka kematian perinatal berangsung lebih lamban, sebabnya ialah karena kesehatan seta keselamatan janin dalam uterus sangat tergantung dari keadaan dan kesempurnaan bekerjanya sistem dalam tubuh ibuyyang mempunyai fungsi untuk menumbuhkan hasil konsepsi dari mudigah menjadi janin cukup bulan.
Di negara-negara maju kematian perinatal ini mencapai angka di bawah 25 per 1000. Seperti telah di jelaskan, prematuritas memegang peranan penting dalam ha ini. Selanjutnya tidak jarang bersama-sama dengan prematuritas terdapat faktor-faktor lain, seperti kelainan kongenital, asfiksia neonatorum, insufisiensi plasenta, perlukaan kelahiran, dan lain-lain. Dua hal yang banyak menentukan penurunan kematian perinatal ialah tingkat kesehatan serta gizi wanita dan mutu pelayanan kebidanan yang tinggi di seluruh negeri.
Organisasi Untuk Pelayanan Kebidanan
Di negara-negara maju penyelenggaraan pelayanan kebidanan beraneka ragam. Bentuknya sangat tergantung dari perkembangan historis di negara masing-masing. Bila di Amerika Serikat dokter yang menyelenggarakan pengawasan antenatal serta pertolongan persalinan pada hampir semua wanita hamil, di Eropa baik di Barat maupun di Timur bidan mempunyai peranan penting. Masih ada di negara seperti negeri Belanda, dimana bidan mempunyai kedudukan yang bebas. Akan tetapi, lambat-laun di mana-mana bidan tidak berdiri sendiri lagi, melainkan merupakan anggota suatu tim yang bertanggung jawab atas kesehatan dan keselamatan wanita serta anaknya dalam masa hamil, persalinan, dan nifas.
Mengenai tempat persalinan, dalam tahun 1965 jumlah persalinan di rumah di negeri Belanda ialah 70%, sedang di Swedia, Norwegia, Cekoslowakia, dan USSR hampir 100% dari semua persalinan berlangsung di rumah sakit. Demikian pula pembiayaan oragnisasi pelayanan kebidanan tidak sama, ada yang seluruhnya di tanggung oleh negara, ada yang hampir seluruhnya oleh suatu sistem asuransi, ada juga yang dua-duanya merupakan unsur penting. Walaupun organisasinya beraneka-ragam, semua negara telah berhasil menurunkan secara meyakinkan angka kematian maternal dan teus memperbaiki angka kematian perinatal.
Terlepas dari jenis dan bentuk organisasi, beberapa hal yang menonjol dalam pelayanan kebidanan yang baik ialah :
a) Semua wanita hamil mendapat kesempatan dan menggunakan kesempatan untuk menerima pengawasan serta pertolongan dalam kehamilan, persalinan, dan nifas;
b) Pelayanan yang di berikan bermutu;
c) Walaupun tidak semua persalinan berlangsung di rumah sakit, namun ada kemungkinan untuk mendapat perawatan segera di rumah sakit jika terjadi komplikasi;
d) Di beri prioritas bersalin di rumah sakit untuk :
1) Wanita dengan komplikasi obstetrik (panggul sempit, pre-eklampsia dan eklampsia, kelainan letak, kehamilan ganda, dan sebagainya);
2) Wanita dengan riwayat obstetrik yang jelek (perdarahan postpartum, kematian janin sebelum lahir, dan lain-lain pada kehamilan sebelumnya);
3) Wanita hamil dengan penyakit umum, seperti penyakit jantung, diabetes, dan sebagainya;
4) Wanita dengan kehamilan ke 4 atau lebih;
5) Wanita dengan umur 35 tahun keatas;
6) Primigravida;
7) Wanita dengan keadaan di rumah yang tidak memungkinkan persalinan dengan aman.
e) Adanya statistik yang baik mengenai penduduk mengenai kelahiran serta kematian maternal menurut umur dan paritas, mengenai kematian perinatal dan mengenai sebab-sebab kematian maternal serta kematian perinatal. Semuanya ini di perlukan untuk terus membina dan menyempurnakan pelayanan kebidanan pada masa yang akan datang.
Selain hal-hal tersebut di atas, keadaan kesehatan dan fisik yang baik pada wanita-wanita hamil, kemajuan terus menerus dalam ilmu dan praktek kebidanan, pembatasan jumlah anak sampai 2 aatau 3, dan peningkatan taraf kehidupan rakyat pada umumnya besar artinya dalam mencapai mortalitas dan morbiditasibu dan anak yang rendah.
KEBIDANAN DI INDONESIA
Pelayanan Kebidanan dari dahulu sampai sekarang
Tenaga yang sejak dahulu sampai sekarang memegang peranan penting dalam pelayanan kebidanan ialah dukun bayi (nama lain: dukun beranak, dukun bersalin, dukun peraji). Dalam lingkungannya dukun bayi merupakan tenaga terpercaya dalam segala soal yang bersangkutan dengan reproduksi. Ia diminta pertimbangannya pada masa kehamilan, mendampingi wanita yang bersalin sampai persalinan selesai, dan mengurus ibu juga bayinya dalam masa nifas. Ia menyelenggrakan pula abortus buatan dan kontrasepsi.
Dukun bayi biasanya seorang wanita; hanya di Bali terdapat dukun bayi pria. Ia umumnya berumur 40 tahun ke atas dan buta huruf; ia menjadi dukun karena pekerjaan ini turun temurun dalam keluarganya oleh karena ia merasa mendapat panggilan untuk mengerjakan pekerjaan itu. Ia mendapat latihan untuk pekerjaan dukun dengan membantu dukun yang lebih tua dan selanjutnya menambah pengetahuannya dengan apa yang di alami dalam praktek. Di pedesaan, dukun (atau suaminya) biasanya mempunyai penghasilan tetap sebagai petani atau pedagan kecil; pertolongan persalinan yang di berikan rata-rata 2-3 kali sebulan.
Pengetahuannya tentang fisiologi dan patologi dalam kehamilan, persalinan, serta nifas sangat terbatas, sehingga bila timbul komplikasi, ia tidak mampu mengatasinya, bahkan tidak menyadari arti dan akibatnya. Biarpun demikian, dukun dalam masyarakatnya mempunyai pengaruh besar ; ia mnghadiri persalinan tidak hanya untuk memberi pertolongan teknis, melainkan memberikan pula emotional security kepada wanita yang sedang bersalin serta keluarganya, karena ia dengan do'a-do'anya di anggap dapat membantu melancarkan jalannya persalinan. Jumlah dukun di perkirakan sebanyak 150.000.
Praktek kebidanan modern di masukkan di Indonesia oleh dokter-dokter Belanda yang bekerja pada Pemerintahan Hindia-Belanda atau pada pihak swasta. Dalam tahun 1850 di buka kursus bidan yang pertama yang kemudian di tutup pada tahun 1873. Pendidikan bidan di mulai lagi pada tahun 1879 dan sejak itu jumlah sekolah bidan serta jumlah yang lulus sebagai bidan terus bertambah.
Pendidikan doktersecara sangat sederhana dimulai pada tahun 1815 dengan di dirikannya Sekolah Dokter Jawa. Pendidikan ini lambat laun di tingkatkan dan diperluas; Ilmu kebidanan yang mula-mula tidak di ajarkan, mulai tahun 1902 di masukkan dalam kurikulum. Pada tahun 1927 pendidikan mencapai tingkat universitas dengan didirikannya Geneeskundige Hoogeschool. Dr. N.J.A.F. Boermadi angkat sebagai guru besar pertama dan di bawah pimpinannya di mulailah pendidikan pascasarjana dalam bidang Obstetri dan Ginekologi.
Pada tahun 1950, setelah kemerdekaan Indonesia di akui oleh seluruh dunia, terdapat 475 dokter dan kurang lebih 4000 tenaga paramedis. Jumlah dokter spesialis dalam bidang Obstetri dan Ginekologi hanya 6 orang. Bekat peningkatan dalam segala bidang pendidikan, termasuk pendidikan tenaga kesehatan, pada pertengahan tahun 1979 terdapat lebih dari 8000 dokter, 286 dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi, dan lebih dari 16.888 bidan.
Dengan bertambah banyaknya tenga yang dapat memberi pelayanan kebidanan, bertambah pula lah usaha-usaha dalam bidang itu. Walaupun demikian, hanya sebagian kecil dari masyarakat menikmati pelayanan kebidanan yang sempurna, berupa pengawasan antenatal, pertolongan persalinan, pengawasan nifas, dan perawatan. Khususnya, pelayanan kebidanan untuk masyarakat desa masih untuk sebagian besar di tangan tenga-tenaga tradisional, seperti halnya untuk pelayanan kesehatan pada umumnya. Pada tahun 1978 kira-kira 90 persen dari persalinan ditangani oleh dukun, 6 persen oleh bidan, dan 1 persen oleh dokter.
Dalam usaha meningkatkan pelayanan kebidanan dan pelayanan kesehatan anak mulai tahun 1950-an dilaksanakan program kesejahteraan ibu dan anak (KIA) yang didirikan tidak hanya di kota-kota , tetapi juga di daerah luar kota. Balai-balai KIA umumnya di pimpin oleh seorang bidan. Pada balai-balai ini diselenggarakan (1) Pemeriksaan antenatal; (2) Pemeriksaan postnatal; (3) Pemeriksaan dan pengawasan bayi dan anak di bawah lima tahun (balita); (4) Keluarga berencana; (5) Penyuluhan kesehatan, khususnya dalam bidang gizi; (6) Pelatihan dukun bayi. Bidan juga dapat di panggil ke rumah jika terdapat kesulitan dalam persalinan. Walaupun banyak pula Balai KIA didirikan (sampai tahun 1973 jumlahnya 6810) hasilnya tidak seberapa memuaskan. Ini di sebabkan oleh karena umumnya Balai-balai tersebut dikunjungi oleh mereka yang tinggalnya tidak terlampau jauh dari tempat tersebut, sehingga yang mendapat pengawasan hanya sebagian kecil dari masyarakat.
Diatas juga di sebutkan bahwa balai KIA di adakan pelatihan untuk dukun-dukun bayi. pertimbangan dalam hal ini ialah, karena tenaga-tenaga dukun bayi masih sangat di perlukan, maka di harapkan dengan memberikan latihan elementer kepada mereka, mereka dapat lebih cepat mengenal tanda-tanda bahaya yang dapat timbul dalam kehamilan dan persalinan, dan segera mint pertolongan kepada bidan. Sampai pertengahan tahun 1979 telah dilatih kurang lebih 110.000 dukun bayi. Sangat di sayangkan bahwa pelaksanaan pelatihan-pelatihan dukun tidak di sertai dengan usaha lain yang melengkapi gagasan peningkatan kemampuan dukun tersebut. Dari penelitian lapangan tahun 1973 di jumpai bahwa hanya 10-20% saja dukun yang masih berhubungan dengan Puskesmas atau bidan pemberi pelatihannya; selebihnya sama sekali tidak di ketahui cara pertolongannya sesudah di latih, atau pun tingkat keamanan pelayanan yang di berikannya.
Demikian pula, para dukun yang sudah lebih mengetahui tanda-tanda bahaya secara dini hingga saat ini masih di hadapkan kepada kesukaran rujukan karena bermacam-macam penyebab; seperti tempat tinggal kasus yang di tolong, sarana perhubungan ke tempat rujukan, sikap pasrah masyarakat, dan lainnya lagi. Secara singkat dapat di sebutkan bahwa usaha yang sudah dilaksanakan memang layak menjadi perhatian kita; tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa jumlah kasus di rujuk yang datang terlambat ke rumah sakit masih tetap banyak yang sebelumnya telah di tolong oleh para dukun bayi. Maka perlu sekali di usahakan mendidik tenaga yang terlatih (bukan dukun!) untuk mengawasi ibu hamil dan anaknya dan segera mengambil tindakan atau merujuk pasien bila ada penyimpangan dari jalur yang seharusnya normal fisiologik.
Kematian Maternal dan Kematian Perinatal
Pada saat ini tidak ada angka yang tepat mengenai kematian maternal untuk Indonesia atau untuk suatu wilayah di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh belum adanya sistem pendaftaran wajib untuk kelahiran dan kematian di negara kita. Menurut taksiran kasar, angka kematian maternal ialah 6-8 per 1000 kelahiran; angka ini sangat tinggi apabila di bandingkan dengan angka-angka di negara maju, yang berkisar antara 1,5 dan 3 per 10.000 kelahiran hidup. Angka-angka yang dewasa ini tersedia ialah angka-angka dari rumah sakit di beberapa daerah, yang selain menerima wanita untuk persalinan, yang telah mendaftarkan diri lebih dahulu (booked cases), meminta pula penderita-penderita yang dikirim dari daerah sekitarnya karena kesukaran dalam persalinan.
Perbedaan angka-angka dari rumah sakituntuk sebagian besar disebabkan oleh perbedaan jumlah dalam persen antara booked cases dan kasus-kasus darurat. Kasus-kasus darurat umumnya terdiri atas mereka yang mula-mula sakit. Tidak jarang mereka ini terlambat di bawa, malahan kadang-kadang mereka datang ke rumah sakit hanya untuk meninggal.
Tabel di bawah ini memperlihatkan angka kematian maternal pada booked cases dari beberapa rumah sakit.
Walaupun angka-angka kematian maternal dalam Tabel II jauh lebih rendah daripada angka-angka Tabel 1, namun angka-angka itu masih lebih tinggi daripada angka-angka kematian maternal di negara-negara maju. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor-faktor lain diluar pelayanan kebidanan yang memegang peranan dalam penentuan angka tersebut. Faktor-faktor itu ialah kekurangan gizi dan anemi, paritas tinggi, dan usia lanjut pada ibu hamil.
Pada tahun 1988 kematian maternal di Indonesia di perkirakan 450 per 100.000 kelahiran hidup (dari Simposium Nasional Kesejahteraan Ibu pada tanggal 29 Juni 1988). Angka tersebut yang tertinggi di negara Asean (5-142 per 100.000) dan 50-100 kali lebih tinggi dari angka kematian maternal di negara maju. Dewasa ini dilancarkan diseluruh dunia, khususnya di negara berkembang gerakan Safe Motherhood, untuk mengamankan para ibu hamil, melahirkan dan sesudahnya, menuju ke keluarga sehat dan sejahtera.
Di Indonesiahal tersebut bukan suatu hal yang baru dan telah di uraikan di depan dalam bentuk di adakannya "Balai kesejahteraan Ibu dan Anak" (BKIA) sejak tahun 1950-an. Melihat masih tingginya kematian maternal gerakan Safe Motherhood di Indonesia di tanggapi dengan simposium "Kesejahteraan Ibu" yang di buka oleh Presiden Suharto sendiri. Hal ini mempunyai dampak yang cukup berarti, kemudian di tangani oleh pemerintah, khususnya Departemen Kesehatan, Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, dan Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Pada ahir simposium "Kesejahteraan Ibu" ada 17 kelompok masyarakat dan instansi pemerintah yang menanda tangani mendukung gerakan Kesejahteraan Ibu tersebut yaitu :
Kowani, Dharma Wanita, Dharma Pertiwi, Tim Penggerak PKK, Majelis Ulama Indonesia, Ikatan Dokter Indonesia, Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, Ikatan Bidan Indonesia, Komite Nasional Pemuda Indonesia, Persatuan Wartawan Indonesia, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, Departemen Kesehatan, Departemen Dalam Negeri, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Komisi VIII, dan Perwakilan Daerah. Dengan di tanda tangani Simposium Kesejahteraan Ibu itu, usaha antara lain menurunkan kematian maternal diharapkan ditangan secara gotong royong oleh semua pihak yang mempunyai kaitan dengan Kesejahteraan Ibu. Waktu yang akan menilai apakah kita dapat menurunkan angka kematian maternal di Indonesia.
Angka kematian perinatalyang terdapat dalam kepustakaan Indonesia ialah seperti juga angka-angka kematian maternal, di peroleh dari rumah-rumah sakit yang selain menerima persalinan dari booked cases, juga menerima banyak kasus darurat, sehingga tidak menggambarkan keadaan sebenarnya dalam masyarakat. Angka tersebutdi rumah-rumah sakit berkisar antara 77,3 sampai 137,3 per 1000. Hans'E. Monintja, yang mempelajari angka-angka kematian perinatal tersebut, sampai pada kesimpulan berikut :
1) Lebih separuh dari kematian perinatal ialah bayi lahir-mati (still-birth);
2) Angka kematian perinatal pada bayi berat-badan-lahir rendah (low birth weight) lebih daripada 2 kali angka kematian bayi cukup bulan;
3) Kematian dalam 24 jam pertama kira-kira 37% dari angka kematian neonatal dini (early neonatal death).
Perkembangan dalam tahun-tahun terakhir
Bahwa pelayanan kebidanan yang adekuat hanya di nikmati oleh sebagian kecil masyarakat (the privileged few), ternyata berlaku pula untuk bagian-bagian lain dari pelayanan kesehatan. Hanya mereka-mereka yang tinggal di kota-kota dan cukup mampu yang memperoleh pelayanan sempurna, sedang untuk sebagian besar dari masyarakat, terutama yang tinggal di daerah pedesaan, pelayanan yang adekuat tidak sampai pada mereka. Keadaan ini melahirkan konsep Pusat Kesehatan Masyarakat (Community Helth Cenre). Pusat ini di adakan di ibu kota kecamatan dan bertujuan memberi pelayanan kesehatan dalam bidang preventif dan kuratif. Aktivitas mencakup pengobatan penyakit, kesejahteraan ibu dan anak, keluarga berencana, pemberantasan penyait menular, higiene dan sanitasi, perbaikan gizi, penyuluhan kesehatan, kesehatan gigi, kesehatan mental, kesehatan sekolah, penyelenggaraan labolatorium sederhana, perawatan kesehatan masyarakat (public health nursing), dan pengumpulan data untuk keperluan evaluasi dan perencanaan.
Pembentukan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di mulai pada Pelita 1 (1969-1974), akan tetapi baru berkembang pesat dalam Pelita II (1974-1979). Pada pertengahan 1979 terdapat 4353 Puskesmas; di sampingnya, terdapat 6593 Puskesmas-Pembantu. Dewasa inidi samping jumlah Puskesmas dan Puskesmas Pembantu di tingkatkan, di adakan pula Puskesmas Keliling dan Puskesmas dengan fasilitas perawatan.
Usaha lain yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan ialah penertiban pendidikan tenaga-tenaga paramedik. Dalam perkembangan aktivitas-aktivitas dalam berbagai bidang kesehatan telah di adakan banyak jenis pendidikan yang menghasilkan beraneka ragam tenaga dengan kemampuan yang sangat terbatas. Karena hal ini di anggap tidak efisien dan banyak pendidikan lebih berorientasi ke klinik, di rencanakanlah pendidikan dasar dalam bidang kesehatan untuk menghasilkan Perawat Kesehatan (Primary Health Nurse) yang lebih berorientasi ke kebutuhan masyarakat. Tenaga ini dididik 3 tahun setelah lulus dari Sekolah Menengah Pertama dan bersifat serba guna. Sesudah pendidikan ini, terbuka kemungkinan untuk melanjutkan ke arah kahlian tertentu, misalnya untuk menjadi bidan. Dalam pendidikan Perawat Kesehatan diberikan mata-pelajaran KIA, termasuk pelayanan kebidanan dengan baik dalam batas-batas tertentu. Direncanakan bahwa Perawat Kesehatan banyak di perlukan untuk Puskesmas dan Puskesmas-Pembantu. Oleh karena itu, pendidikannya di sebarluaskan di seluruh Indonesia.
Masalah pelayanan kesehatan yang tidak merata ternyata merupakan suatu masalah yang terdapat di banyak negara, khususnya di negara-negara berkembang. Dalam hubungan ini pada pertengahan dasawarsa 70 berkembang gagasan yang di sponsori oleh World Health Organization yang pokoknya memberi pelayanan kesehatan yang mereka untuk masyarakat dengan partisipasi masyarakat. Tujuan Primary Health Care ialah memajukan dan menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar, dari rakyat untuk rakyat dan oleh rakyat. Pelayanan iniharus dilihat sebagai bagian dari pembangunan nasional dalam keseluruhan, dan erat hubungannya dengan aktivitas-aktivitas dalam pendidikan, pertanian, perbaikan gizi, penyediaan obat-obatan esensial, dan lain-lain. Partisipasi masyarakat harus tercermin dalam pengambilan keputusan, penyediaan dana kesehatan, dan pelaksanaan sehari-hari. Tiap-tiap orang dan tiap-tiap keluarga harus merasa bertanggung jawab atas pemeliharaan kesehatannya sendiri sebaik-baiknya.
Di Indonesia Primary Health Care berbentuk Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (Village Community Health Development) atau PKMD, dan di mulai pada tahun 1975. Akan tetapi, sebelumnya, gagasan serupa sudah direalisasikan dalam kurang lebih 200 desa di Indonesia.
Dalam banyak desa sudah ada Lembaga Sosial Desa sebagai badan yang di bentuk oleh masyarakat desa. Badan ini adalah milik masyarakat desa dan buka aparat dari Pamong Praja, walaupun bekerjasama erat dengan Pamong Praja dan instansi-instansi Pemerintah lannya. Tugas itu ialah melaksanakan koordinasi atas usaha-usaha pembangunan dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, pertanian, pemasaran, dan lain-lain. PKMD diselengarakan dalam rangka kerjasama dalam Lembaga Sosial Desa.
Tenaga-tenaga suka rela (Promotor Kesehatan Desa = Prokesa) yang memenuhi persyaratan tertentu dipilih dan mendapat pendidikan serta pelatihan selama 4 bulan sebagai persiapan untuk menyelenggarakan tugas dalam bidang "pemberian pertolongan pertama, pengobatan penyakit-penyakit ringan, penyuluhan dalam hal gizi, higiene dan sanitasi, KIA, dan sebagainya," dan untuk bekerja sama dengan mereka yag berusaha dalam keluarga berencana, pertanian, perikanan, dan lain-lain guna meningkatkan taraf kehidupan di desa. Pembiayaan aktivitas-aktivitas ini dilakukan dengan mengadakan Dana sehat, yang merupakan semacam asuransi dari penduduk desa. Secara teknis prokesa di bina oleh Perawat Kesehatan, dan tenaga yang teakhir ini merupakan pula saluran sistem rujukan dari desa ke Puskesmas dan terus ke rumah sakit Kabupaten. Dalam tahun 1989 pada tiap rumah sakit Kabupaten di tempatkan seorang spesialis Penyakit Dalam, seorang spesialis Bedah, seorang spesialis Kebidanan dan Kandungan, dan seorang spesialis Kesehatan Anak. Tenaga-tenaga tersebut akan di perbanyak dan diperkuat dengan tenaga penunjang seperti spesialis radiologi, patologi, labolatorium klinik dan sebagainya disesuaikan dengan kebutuhan.
Dalam rangka peningkatan jangkauan upaya kesehatan, Pemerintah telah mendirikan dan menyebarluaskan Puskesmas lengkap dengan sarana dan tenaganya : Satu Puskesmas untuk 30.000 penduduk dan satu Puskesmas Pembantu untuk 18.000 penduduk. Untuk daerah terpencil atau sulit di jangkau diadakan Puskesmas Keliling berupa perahu bermotor atau kendaraan bermotor roda. Dari dua Survei Rumah Tangga (SRT) 1980 dapat dilihat bahwa yang merasa sakit dan dapat pengobatan meningkat dari 55% pada tahun 1972 menjadi 74% pada tahun 1980.
Disayangkan bahwa baru sekitar 49% ibu hamil memeriksakan diri pada berbagai unit pelayanan kesehatan, 15% pada dukun dan 36% tidak pernah periksa (SRT 1980). Dari angka-angka yang di dapati tampak dengan jelas bahwa persalinan oleh dukun dan di rumah masih merupakan cara persalinan yang banyak dan dilakukan oleh masyarakat. Sebab-sebab dari hal tersebut adalah kompleks, bukan hanya masalah sosial ekonomi dan sosial budaya yang harus di perhatikan, kita perlu utamakan agar para ibu lebih aman dan tertolong secara baik sewaktu hamil dan melahirkan dengan :
1) Meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pemeriksaan kehamilan;
2) Untuk menekan angka kesakitan dan kematian sebagai akibat kehamilan dan persalinan perlu di usahakan institusionalisasi persalinan.
Persalinan di klinik (Pondok Bersalin, Klinik Bersalin, Rumah Sakit Bersalin, Rumah Sakit Umum dan sebagainya), di mana ada tenaga terlatih (dokter), alat-alat dan obat-obatan yang di perlukan selalu tersedia, akan lebih memberi jaminan daripada bila di adakan di rumah. Dengan demikian dapat di ramalkan bahwa jumlah persalinan di rumah akan berkurang. Pelembagaan persalinan di rumah sakit dimana cara dan fasilitas untuk mengawasi persalinan makin lama makin sempurna dengan alat-alat canggih akan menyebaban pengamanan lambat laun bergeser dari ibu ke janinnya. Angka tindakan operatif khususnya seksio sesarea akan meningkat.
Meskipun operasi seksio cukup aman, namun perlu di ingat bahwa angka kematian maternal masih dua sampai 46 kalilebih tinggi daripada persalinan per vaginam. Segera setelah partus selesai dan tidak memerlukan perawatan lagi, ibu dan bayinya dapat di pulangkan dengan sendirinya dengan follow-up yang baik. Ini dapat di serahkan pada Perawat Kesehatan atau tenaga yang khusus dilatih untuk pekerjaan tersebut di supervisi oleh bidan atau dokter Puskesmas. Bila Masyarakat aktif di ikut sertakan maka sistem rujukan yang merupakan tulang punggung dalam mengasi komplikasi dapat pula di adakan.
Dewasa ini dari Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi di harapkan agar secara tepat dapat menentukan keadaan janin yang di kandung dan pula mengenai keadaan persalinan yang akan datang. Dengan adanya elektronik, kemajuan-kemajuan dalam pemeriksaan biomedik, dan akhir-akhir ini dengan ultrasonografi, kita dapat meramalkan dengan lebih tepat janin yang di kandung. Dengan kardiotokograf dapa di catat kontraksi uterus dan sekaligus aktivitas jantung janin. Ambioskopi, pengambilan darah dari kulit kepala janin untuk analisis gas, pemeriksaan air ketuban melalui fungsi abdomen dapat dilaksanakan oleh dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi untuk kepentingan janin yang akan lahir.
Pula dapat dilaksanakan registrasi gerakan-gerakan janin, pernafasan janin, penentuan PO2 secara terus menerus, pulsatility, tali pusat, mengadakan pungsi tali pusat secara terarah dan yang terakhir ini membuka pintu untuk memberikan secara intravena obat-obatan atau ekstra cairan makanan bila fungsi plasenta kurang baik. Dengan memeriksa air ketuban dapat di temukan kelainan pada kromosom, gangguan dalam metabolisme dan rakhiskisis. Fetal surgery masa kini dapat dilaksanakan untuk mengkoreksi janin. Dewasa ini dengan biopsi villus korialis dapat di temukan kelainan-kelainan fetal lebih dini dan pula jenis kelamin mudigah.
Di negara-negara dimana anak laki-laki lebih di inginkan dari anak perempuan, maka penentuan jenis kelamin menimbulkan banyak permintaan abortus provokatus, tanpa memperhitungkan hak hidup janin yang sedang berkembang. Hal ini merupakan masalah yang rumit, rawan dan memprihatinkan.
Dalam dekade terakhir ini banyak di publikasikan in vitro fertilization (IVF), pemindahan embrio, gift, surrogate mothers yang seharusya dalam bidang Obstetri dan Ginekologi masih perlu di bina bersama disiplin-disiplin lain. Secara ilmiah perlu di kembangkan penelitian-penelitian. Oleh karena iu harus di tentukan pedoman yang ketat sesuai dengan sosial budaya bangsa. Jangan sampai seorang anak mempunyai tiga ibu. Seorang ibu menyewa ibu yang dapat telur dari seorang ibu donor dan kemudian menjadi pertengkaran antara keluarga-keluarga yang bersangkutan.
Ilmu kedokteran dan teknologi berkembang terus dengan cepat sekali. Disamping kita dapat kemudahan dalam pencegahan, diagnosis dan pengobatan tentu akan ada bahaya-bahayanya dan komplikasinya. Kini perlu dilancarkan pemakaian teknologi biomedika modern yang menimbulkan persoalan bioetika sehingga batas konflik antara teknologi dan hak-hak asasi manusia menjadi hangat. Disamping itu teknologi biomedika modern dapat membuat kita bertindak kurang manusiawi. Maka sebelum terlambat perlu dipikirkan pedoman-pedoman dalam pelaksanaan pelayanan penelitian, pemakaian alat-alat canggih dalam diagnosisdan terapi dengan mempunyai dasar ilmiah dengan indikasi yang tepat. Untuk meniadakanpengaruh negatif dari teknologi biomedika modern disarankan :
- Pendidikan dokter di tingkatkan dengan tidak melupakan pendidikan dasar klinik dan etika kedokteran.
- Pemerintah mengatur pemakaian, pembuatan dan pemasaran alat dan obat-obatan.
- Penjual mengikuti dan patuh pada peraturan-peraturan yang ada mengenai alat-alat dan obat-obatan dan memperhatikan keadaan sosial di Indonesia.
- Masyarakat di beri cukup pengertian mengenai tindakan-tindakan yang akan dilaksanakan dan obat-obatan yang di berikan, pula mengenai alat-alat yang di gunakan.
- Backet EM, Davies Am, Petros-Barvazian A. The risk Approach in Health Care. WHO Public Health PApers 1984, 76
- Baird D. The Evolution of Modern Obstetrics. Lancet, 1960 : 564
- Chamberlain R, Jeffcoate TNA. The Maternity Service in Britain. Amer J Obstet Gynec. 96 435, 1966
- Departemen Kesehatan RI. Sistem Kesehatan Nasional. Departemen Kesehatan RI, 1982
- Departemen Kesehatan RI. Rencana Pembangunan Lima Tahun Keempat Bidang Kesehatan 1984/1985 - 1988/1989. Departemen Kesehatan RI, 1984
- Departemen Kesehatan RI, Rencana Pokok Program Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan 1983/1984 - 1998/1999. 1985
- Hariadi R. Kematian Bersalin di R.S. Dr. Sutomo selama 5 tahun. Naskah Lengkap Kongr Obstet Ginek Indon Pertama, 277, 1970
- I Cheng Chi et al. Hospital Maternal mortality risk by cesarean and vaginal deliveries in two less developed countries - A descriptive study. Int J Gynaecol Obstet. 1986; 24 : 121 - 131
- Jashevatsky O et al. The predictive value of fetal brething movements in the out come of premature labour. Brit J Obstet Gynaecol 1986; 1256 - 1258
- Prawirohardjo S. Menuju ke Pelayanan Kebidanan yang Menyeluruh dan Bermutu; Pidato Orasi pada Kongres Obstetri dan Ginekologi Indonesia III, Medan, 1976
- Prawirohardjo S. Obstetrics and Ginaecology during the last 50 years in Indonesia: Guest-lecture at the III Joint Congress of the Asia-Pasific Federation of the International College of Surgeons, Bali, 1979
- Arahan dan Sambutan pada Simposium Nasional Kesejahteraan Ibu I Jakarta: 1988
- Poedjio, Rukanda A, Soemakso E, Moeloek FA. Kumpulan Materi Simposium Nasional Kesejahteraan Ibu II Jakarta: 1988
- Prawihardjo S. Kebidanan dalam masa lampau dan kini. Dalam: Prawihardjo S. dkk. (eds). Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo 1986 ed II, cet. III.
- Remmelts R. Over de logische Ontwikkeling van de Verloskunde en Gynaecologie. Dies-rede, Geneeskundige Hoogeschool, Batavia, 1939
- Rochjati P, Soedarto, Prabowo Rp. Pola kasus kehamilan risiko tinggi di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Maj Obstet Ginek Indon 1986; 12 : 230 - 248
- Samil RS. Penyakit-penyakit Genetika dan Reproduksi Manusia. Maj Obstet Ginek Indon 1986; 12 : 191 - 195
- Schenker JG, Weinstein D eds. The Intrauterine Life. Management and Therapy. Proccedings of the 2nd Intenational Symposium The Fetus as a Patient - Diagnosis and Treatment, Jerusalem, 1985. Amsterdam New York Oxford: Excerpta Medica ICS 689. 1986
- Stallworthy J. The Depelopment of a Regional Maternity Service. Amer J Obstet Gynec. 1971; 109:285
- Yahya. Hasil Lokakarya Nasional Kesejahteraan Ibu Jakarta: 1988
- Tambiraja RL et al. Antepartum and intrapartum risk assesments. In : Schenker JG, Weinstein D eds, The intrauterine life - Management and Therapy, Amsterdam New York Oxford : Experta Medica ICS 1986; 689 : 31 - 36
- Tasender G. Geschichte der Geburtshulfe. Jena, 1906.
- Wiknjosastro H. Perkembangan dalam Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan di Indonesia. Pidato Pengukuhan, Guru Besar Tetap Universitas Indonesia, 1963
- Wiknjosastro H. Sambutan Ketua Panitia pengarah Etika Kedokteran Khususnya dalam bidang Obstetri dan Ginekologi dalam Mimbar YBP-SP II. Ujung Pandang: YBP-SP, 1985
- Wiknjosastro H. Pelayanan Kebidanan Tempo Doeloe, Kini dan Kelak di Indonesia. Maj Obstet Ginek Indon 1987; 13 : 133 - 147
- Wiknjosastro H. Sambutan Ketua Panitia Pengarah Meningkatkan Pelayanan Kesehatan Reproduksi di Lini Terdepan dalam Mimbar YBP-SP IV Manado: YBP-SP. 1989
- Wld Hlth Org techn Rep Ser, 51, Expert Committee on Maternity Care, 1952
- Wld Hlth Org techn Rep Ser, 93, Expert Committee on Maternity Care, 1955
- Wld Hlth Org techn Rep Ser, 331, The Midewife in Maternity Care, 1966
- Wld Hlt Org. Report on the International Conference on Primary Health Care, Alma-Ata 1978