--> Skip to main content

follow us

Cerita Rakyat Sumatera Utara : Asal Mula Danau Toba

Cerita Rakyat Sumatera Utara : Asal Mula Danau Toba dan Pulau Samosir - Cerita ini termasuk kategori LEGENDA. Dan, Cerita Rakyat Sumatera Utara ini di angkat dari buku Cerita Rakyat Nusantara. Adapun di publikaskannya kembali disini dengan harapan siapapun dan dimanapun orang yang ingin mengetahui Asal Usul Danau Toba dan Pulau Samosir bisa mengaksesnya dengan mudah.

Selain itu, di publikasikannya cerita danau toba ini sebagai wujud kontribusi kami dalam melestarikan cerita lama bersejarah dan mengenalkan pada generasi masa kini bentuk sastra lama warisan dari nenek moyang kita terdahulu.

Pada zaman dahuru ada seorang petani bernama Toba. Ia hidup menyendiri di sebuah lembah yang landai dan subur. Petani itu mengerjakan sawah dan ladang untuk keperluan hidupnya.


Selain mengolah tanah di ladangnya, kadang-kadang Ielaki itu pergi memancing ikan ke sungai yang berada tak jauh dari rumahnya. Setiap kali dia memancing, mudah saja ikan didapatnya karena di sungai yang jernih itu memang banyak sekali ikan. lkan hasil pancingannya dia masak untuk dimakan.

Pada suatu sore, setelah pulang dari ladang lelaki itu langsung pergi ke sungai untuk memancing. Tetapi sudah cukup lama dia memancing tak seekor ikan pun didapatnya. Kejadian yang begitu belum pernah dia alami. Biasanya ikan disungai itu mudah didapat. Karena sudah terlalu lama tak ada juga ikan yang memakan umpan pancingnya, dia jadi kesal dan memutuskan untuk berhenti saja memancing.


"Ke mana saja ikan-ikan di sungai ini,"gumam lelaki itu."sejak tadi aku belum mendapat satu ekor yang kecil sekalipun. la mencoba bersabar, dan menunggu beberapa saat. Namun tetap saja nihil.

"Ah, mendingan pulang saja...!" lelaki itu sudah putus asa. "Tapi kalau pulang rugi juga, sudah sekian lama aku tak dapat ikan. Biarlah kutunggu beberapa saat. "gumamnya menghibur diri. Namun lama-lama karena umpannya sama sekali tidak disentuh oleh ikan sungai ia jadi putus asa.

"Baiklah aku pulang saja. tekadnya bulat.

Tetapi ketika dia hendak menarik pancingnya, tiba-tiba pancing itu disambar ikan yang langsung menarik pancing itu jauh ke tengah sungai.

"Nah, ini dia...!"

Hatinya yang tadi sudah kesal berubah menjadi gembira, karena dia tahu bahwa ikan yang menyambar pancingnya itu adalah ikan yang besar.

"Baiklah ikan....silakan kau bawa umpanku ke mana kau bisa...!" gumam lelaki itu dengan wajah berseri.

Setelah beberapa lama dia biarkan pancingnya ditarik ikan itu kesana kemari, barulah pancing itu ditariknya perlahan-lahan. Ketika pancing itu di sentakkannya tampaklah seekor ikan besar tergantung dan menggelepar-gelepar di ujung tali pancingnya.

"Wah....? Benarkah penglihatanku ini?" serunya hampir tak percaya. Dengan cepat ikan itu ditariknya ke darat supaya tidak lepas. Sambil tersenyum gembira mata pancingnya dia lepas dari mulut ikan itu.


Pada saat dia sedang melepaskan mata pancing itu, ikan tersebut memandangnya dengan penuh arti. Kemudian, setelah ikan itu diletakkannya ke satu tempat yang aman, dia pun masuk ke dalam sungai untuk mandi.

Ketika dia meninggalkan sungai untuk pulang ke rumahnya hari sudah mulai senja. setibanya di rumah, lelaki itu rangsung membawa ikan besar hasil pancingannya itu ke dapur.

"Nah, itu dia persediaan minyak kelapa masih ada. Tapi.....wah? Kayu bakarnya habis.... !"

Pada saat dia hendak menyalakan api untuk memanggang ikan itu, ternyata kayu bakar di dapur rumahnya sudah habis. Dia segera keluar untuk mengambil kayu bakar dari bawah kolong rumahnya.


Kemudian, sambil membawa beberapa potong kayu bakar dia naik kembali ke atas rumah dan langsung menuju dapur. Ketika lelaki itu tiba di dapur, dia terkejut sekali karena ikan besar itu sudah tidak ada lagi. Tetapi di tempat ikan itu tadi diletakkan tampak terhampar beberapa keping uang emas.

"Apa ini...? Wah uang emas?" teriak lelaki itu kaget. "Mengapa bisa terjadi begini. Ke mana ikan besar itu."

Lelaki itu tak habis pikir atas kejadian aneh itu. "Mengapa ikan itu lenyap dan berganti jadi uang emas?" tanyanya penasaran dalam hati.

Dengan emas itu dia akan dapat membeli perabotan yang cukup bagus. "Tapi siapa yang meletakkan emas hati penuh penasaran.


Karena terkejut dan heran mengalami keadaan yang aneh itu, sambil membawa keping uang emas dia meninggalkan dapur dan masuk ke kamar. Ketika lelaki itu membuka pintu kamar, tiba-tiba darahnya tersirap karena di dalam kamar itu berdiri seorang perempuan dengan rambut yang panjang terurai.

Perempuan itu sedang menyisir rambutnya sambil berdiri menghadap cermin yang tergantung pada dinding kamar. Sesaat kemudian, perempuan itu tiba-tiba membalikkan badannya dan mernandang lelaki itu yang tegak kebingungan di mulut pintu kamar.


Lelaki itu menjadi sangat terpesona karena wajah perempuan yang berdiri dihadapannya luar biasa cantiknya. Dia belum pernah melihat wanita secantik itu meskipun dahulu dia sudah jauh mengembara ke berbagai negeri.

"Kau..kau ini siapa?" tanya lelaki itu dengan gemetar. "Apakah kau benar-benar ingin tahu siapa aku? "tanya perempuan itu.

"Benar sejak kapan kau berada di dalam kamarku?"
"Baru saja.....kau yang tadi telah membawaku dari sungai."
"Hah? Dari sungai? Memangnya kau ini....."lelaki itu tidak meneruskan ucapannya.

"Ya.....Aku....aku adalah jelmaan yang kau tangkap di sungai," kata perempuan itu dengan suara renyah dan merdu.

"Kau...kau jelmaan ikan? Ah jangan bercanda!"
"Betul aku telah mengatakan hal yang sebenarnya."
"Benarkah?"
"Benar Bang!" desah perempuan itu dengan mesra. Pandangannya sayu merayu.

Hati lelaki itu berdesir seketika. Selarna ini dia hidup sendiri tanpa pendamping. Kini....di dalam kamarnya ada seorang perempuan cantik yang sepertinya menaruh hati kepadanya.

"Ah, masak akan kusia-siakan. la begitu cantik." pikir lelaki itu dengan, pandangan masih terpana." Tak peduli dari mana asalnya aku akan mengawini perempuan ini...tapi aku tida terburu-buru, akan kuamati dulu selama beberapa hari. Jangan-jangan ia akan berubah menjadi ikan lagi."


Karena hari sudah malam, perempuan itu minta agar lampu dinyalakan. Setelah lelaki itu menyalakan lampu, dia diajak perempuan itu menemaninya ke dapur karena dia hendak memasak nasi untuk mereka berdua.

Sambil menunggu nasi masak, diceritakan oleh perempuan itu bahwa dia adalah penjelmaan dari ikan besar yang tadi didapat lelaki itu ketika memancing di sungai. Kemudian dijelaskannya pula bahwa beberapa keping uang emas yang terletak di dapur itu adalah penjelmaan sisiknya.

Setelah beberapa minggu perempuan cantik itu tinggal serumah bersamanya, pada suatu hari lelaki itu melamar perempuan tersebut untuk jadi istrinya.

"Adik manis....tidak pantas jika sepasang lelaki dan perempuan tinggal serumah tanpa adanya suatu ikatan." kata lelaki itu memulai pinangannya." Maukah kau menemaniku hidup selamanya di rumah ini."

"Apa maksud Abang?"
"Aku melamarmu, aku ingin kau bersedia menjadi istriku." tanya lelaki itu dengan penuh harap.

Perempuan itu menunduk. Sepasang matanya mengeluarkan tetes air. Bukan tangis kesedihan. Melainkan tangis bahagia.

"Aku senang mendengar ucapan Abang. Tapi....apakah Abang bersedia pula berjanji....?"

"Berjanji bagaimana ?"
"Berjanji tidak akan menyebut asal-asalku lagi. Karena apapun yang terjadi kita adalah sepasang suami-istri. Jadi tidak boleh kita menghina satu dan lainnya."

"Oh, kalau cuma itu aku tidak keberatan."

"Abang mau bersumpah?"

Lelaki itu mengacungkan jarinya ke atas dan berkata dengan suara mantap." Aku Toba, berjanji akan mencintai dan mengasihi istriku selama-lamanya dan tidak akan mengungkit-ungkit atau menyebut asal-asal istriku'."

"Terimakasih Abang," kata perempuan itu sambil memeluk calon suaminya.

Demikianiah. Perempuan itu kemudian menyatakan bersedia menerima lamarannya dengan syarat lelaki itu harus bersumpah bahwa seumur hidupnya dia tidak akan pernah mengungkit asal usul istrinya yang berasal dari ikan.

Selanjutnya mereka menikah, Mengundang beberapa tetangga dan para tetua desa untuk menjadi saksi. Mereka hidup berbahagia.

Namun setelah berumah tangga sekian lama mereka belum dikaruniai seorang Putra. Pak Toba dan istrinya mulai gelisah. Mereka kemudian datang kepada sesepuh atau tetua desa untuk minta petunjuk.

Tetua desa menyarankan agar mereka berdua berhenti makan daging ikan. Mereka hanya makan nasi dan sayur mayur selama beberapa bulan.

Tidak berapa lama kemudian sang istri menunjukkan tanda-tanda adanya kehamilan.

"Puji syukur kepada Tuhan. Kita bakal dikaruniai seorang anak!" kata PakToba.

Benar saja. sembilan bulan kemudian, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang tampan.

"Bang berilah nama anak kita ini..'" kata sang istri.
"lstriku sebaiknya kau saja yang memberi nama'"

"Abang saja!"

"Nanti kalau dia sudah punya adik perempuan aku yang beri nama. Sekarang kau yang beri nama lebih dahulu." kata Pak Toba.

"Baiklah, Bang. Anak ini aku kasih nama Samosir.:.."! Setujukah kau?"
''Samosir.... !" ulang Pak Toba sambil merenung.
"Benar Bang kita beri nama anak itu Samosir!"
"Nama yang bagus dan kedengarannya cukup indah."

Begitulah, mereka beri nama anak itu Samosir. Karena sang ibu sudah menunggu sekian lama dan baru kali ini mendapatkannyamaka ia sangat menyayangi anak itu. Ia tampak bahagiamelihat istrinya menimang-nimang si anak di halaman rumah.


Demikian sayangnya sang ibu pada anaknya tanpa terasa rasa sayangnya berubah menjadi memanjakan sianak. Hal ini yang mengakibatkan anak itu bertabi'at kurang baik dan pemalas.

Setiap hari pekerjaannya hanya bermain-main saja. Setelah cukup besar, anak itu diajari ibunya mengantar nasi setiap hari untuk ayahnya yang bekerja di ladang. Namun, sering dia menolak mengerjakan tugas itu sehingga terpaksalah ibunya yang mengantarkan nasi ke ladang.

Suatu hari, anak itu disuruh ibunya lagi mengantarkan nasi ke ladang untuk ayahnya. "samosir ! Kemarilah Nak, kau antarkan nasi ini kepada ayahmu yang telah bekerja keras di ladang." kata ibunya.

"Ah, saya kan masih kecil. Kenapa tidak ibu saja yang mengantarkan nasi itu."

"Samosir kau harus belajar menyayangi dan menghormati orang tuamu." sahut ibunya dengan nada tidak senang atas bantahan anaknya.

"Apa maksud ibu?"
"Ayahmu telah bekerja keras sejak pagi tadi. Dia bekerja untuk kita, untuk makan kita sehari-hari. Sudah selayaknya kau membantu, toh kau tidak ikut mencangkul. Cuma mengantar nasi dan lauknya."

"Ah ibuuuu!"
"Samosir.....!"
"Baiklah....baiklah Bu.... !"

Mulanya dia menolak. Akan tetapi, karena terus dipaksa ibunya, dengan kesal pergilah dia mengantarkan nasi itu.

Esok paginya ia juga diminta mengantarkan nasi dan lauk kepada ayahnya yang tengah berada di ladang. Seperti yang kemarin ia juga merasa berat melaksanakan tugas dari ibunya itu.

Pada hari ketiga sang ibu masih tetap menyuruhnya lagi. kali ini dia menolaknya mentah-mentah
.
"Tidak Bu....! Mengapa saya yang masih kecil diharuskan ikut-ikutan bekerja seperti orang dewasa!" kata samosir. Saya lebih suka bermain-main saja di rumah."


"Samosir justru kau masih kecil harus belajar bekerja keras. Nanti kalau sudah besar akan jadi terbiasa." tukas ibunya.

"Tidak lbu hanya sengaja memanfaatkan aku. Karena Ibu sendiri malas mengantarkan makanan itu kepada ayah.

"Jangan salah sangka Nak. Kalau kau keberatan juga tidak mengapa.

Aku akan mengantarkannya sendiri." kata ibunya dengan nada tidak senang. Ada nada ancaman dibalik suara ibunya kali ini.

"Ba...baiklah Bu....sini, aku antar nasinya!"
"Nah, gitu dong anak pintar !"

Samosir membawa makanan untuk ayahnya dengan hati dongkol. Sepanjang jalan ia selalu mengomel. Tiba-tiba terbersit dalam pikirannya untuk berbuat sesuatu agar besoknya dia tidak lagi disuruh mengantarkan makanan untuk ayahnya. Di tengah perjalanan, di bawah pohon besar yang rindang. la buka bungkusan untuk ayahnya.

"Nah ! lni dia !" serunya girang setelah melihat isi bungkusan untuk ayahnya. Nasi dan lauk untuk ayahnya dimakan. Mula-mula hanya Sedikit, namun karena terasa lezat ia keterusan sehingga sebagian besar nasi dan lauk-pauknya dia makan.


Setibanya di ladang, sisa nasi itu yang hanya tinggal sedikit, lauknya bahkan sudah habis dan dia berikan kepada ayahnya.

"Ayah...in..ini......kiriman untuk ayah." gentar juga Samosir menyerahkan sisa nasi yang baru dimakannya.

"Terima kasih samosir, sini....Ayah sudah sangat lapar nih. Sedari pagi belum sarapan." sahut ayahnya sambil menerima bungkusan.

"Samosir....!" teriak ayahnya begitu melihat isi bungkusan yang hanya berupa sedikit nasitanpa lauk pauk'

"Ya Ayah........!'
"Kau kemanakan nasi dan lauknya?" bentak ayahnya dengan wajah merah padam.

"Maaf Ayah....tadi perut samosir terasa lapar. Jadi aku makan nasi dan lauknya itu!"

"Kau......!" ayahnya hampir tak bisa menahan diri. Bukan main marahnya lelaki ini.

Samosir mundur beberapa langkah saat melihat wajah ayahnya merah Padam.

"Tidak....tidak mengapa Nak.Kali ini kau ku maafkan! Tapi coba kau bayangkan seandainya kau sendiri sejak pagi tidak sarapan harus mencangkul tanah sekian luasnya. Tentu merasa kelaparan bukan, demikian juga ayah. Maka lain kali jangan kau ulang lagi perbuatanmu itu."

"Ba...Baik ayah...!"
"sekarang pulanglah lebih dahulu"
"Ba..baikiyah...!" kata anak itu dengan gemetar.

Dengan cepat anak itu melangkahkan kakinya. Sampai di rumah ia mengadu pada ibunya.

"Bu.....Ayah marah-marah di ladang, aku takut......besok aku tak mau mengantarkan nasi untuknya."

"Lho? Kenapa Ayahmu marah?"
"Samosir tidak tahu Bu."
"Kau tidak berbuat salah?"
"Tidak Bu...!"
"Ya sudah...nanti kalau pulang aku akan menegur ayahmu."

Demikianlah ketika si ayah pulang ia malah di tegur oleh istrinya. "Mengapa Abang memarahi samosir? Bukankah ia anak yang baik, sudah bersedia membantu mengantarkan nasi dan lauk untuk Abang diladang?"

Pak Toba kaget mendengar teguran istrinya. Tapi ia masih bisa menahan diri. Ia duduk lalu berkata lembut kepada istrinya.

"Sebenarnya aku yang pantas menegurmu, istriku. Kau terlalu memanjakan anak itu hingga membuatnya kelewat nakal. Tapi sudahlah dia toh masih kecil dan hanya dia anak kita satu-satunya." Kata pak Toba dengan sabar.

"Abang...sebenarnya apa yang telah terjadi?"
"Sekarang dimana Samosir?" Pak Toba balik bertanya.
"Samosir sedang bermain di halaman depan rumah."

Pak Toba melongok keluar rumah dan melihat anak itu sedang bermain kuda-kudaan dari pelapah daun kelapa.
"Anak itu agak nakal" celetuk Pak Toba.
"Iya...tapi Abang harus jelaskan kenapa Abang memarahinya?"

Pak Toba menghela nafas panjang. "Nasi dan lauk yang kau suruh antarkan untukku telah dimakannya di tengah jalan."
"Hah?"
"Iya....tapi aku tidak memarahinya. Hanya mengingatkannya bahwa bekerja sejak pagi tanpa sarapan perut menjadi sangat lapar. Pada saat perut lapar inilah aku sangat membutuhkan nasi yang dikirim."
"Jadi dia telah berani memakan nasi kiriman untuk Abang?"
"Benar! Tapi sudahlah, aku masih bisa memakluminya. Katanya perutnya juga sedang lapar maka terpaksa dia memakan kiriman nasi untukku itu."
"Ah sebenarnya dia sudah makan sebelum kusuruh ke ladang."
"Istriku...sudahlah. Bagaimanapun dia anak kita. Kita maklumi saja, dia toh masih kecil."
"Terimakasih Abang...kau sungguh ayah yang bijak."

Esoknya Samosir merasa senang karena ibunya tidak menyuruh mengantarkan nasi dan lauk ke ladang. Wanita cantik jelmaan ikan itu sendiri yang mengantarkan bekal makanan untuk suaminya.

Tiga hari kemudian barulah si ibu memintanya lagi mengantarkan bekal ke ladang. Hari itu sudah agak siang.
"Samosir! Cepat-cepat ya! Kasihan ayahmu sejak tadi belum makan." Pesan ibunya.
"Ya...Ibu...saya kan masih kecil, mana mungkin bisa berjalan cepat. Kalau mau cepat-cepat ya Ibu sendiri saja yang mengantarkannya." Sahut Samosir.
"Ibu masih mau mencuci pakaianmu....."kata ibunya.

Terpaksa anak itu menerima tugas ibunya dengan hati dongkol, memang sejak semula ia tak mau mengantarkan makanan untuk ayahnya.

Dalam perjalanan, persis di bawah pohon rindang yang dulu. Ia buka bungkusan dan dimakannya nasi dan lauk untuk ayahnya.
"Hemm, lezat juga.....paling-paling ayah cuma mengingatkanku......!" gumam anak itu sambil terus enyikat makanan ayahnya.

Setelah tinggal sedikit, hanya sisa-ssa nasi yang telah bercampur kuah dan sedikit lauk ia bungkus lagi kiriman untuk ayahnya itu.
"Wah aku agak terlamabat.....harus cepat-cepat sampai diladang." gumam anak itu dengan rasa was-was.

Benar...metahari bahkan hampir condong ke arah barat. Si ayah nampak terduduk lemas dipinggir pematang ladang.
"Maaf ayah...saya agak terlambat!" kata Samosir setelah dekat ayahnya.

Perut Pak Toba yang sejak tadi sudah melilit-lilit tak bisa di ajak berbasa-basi lagi. Ia segera meraih bungkusan di tangan Samosir.

Belum lama ia membuka bungkusan itu tiba-tiba wajahnya berubah merah padam. Sepasang matanya nampak berkilat-kilat karena ia merasa betapa ringannya isi bungkusan itu.

"Kau makan lagi isi bungkusan ini...?" tanya ayahnya.
"Beb....!" Samosir tidak melanjutkan ucapannya.

Pak Toba membuka bungkusan. Sepasang matanya terbelalak demi melihat sisa-sisa nasi yang tinggal sedikit bercampu kuah dan lauk.

"Kurang ajarrrrr.....!" bentaknya dengan geram.
Samosir menggil melihat kemarahan ayahnya.
"Kau yang memakannya lagi?" benta ayahnya.

Samosir hanya bisa mengangguk kecil.
"Kemarin-kemarin aku sudah mengingatkanmu.....kau ternyata masih bandel!"
"Ampun ayah.....Samosir tak akan mengulanginya lagi.....!"

Pak Toba mencekal baju anaknya dengan amarah yang meluap hingga anak itu benar-benar ketakutan.

"Plak! Plak!" Tangan pak toba menampar kedua pipi anak itu. Sebenarnya tidak terlalu keras tamparan itu namun karena dilakukan dengan penuh amarah, maka bagi si anak jadi terasa sakit sekali.


"Anak yang tak bisa diajar. Tidak tahu diuntung. Dasar anak ikan!"

Anak itu berontak, setelah lepas dari cekalan ayahnya ia berlari pulang kerumahnya.

Sambil menangis, anak itu berlari pulangmenemui ibunya di rumah. Kepada ibunya dia adukan bahwa dia di pukuli ayahnya.

"Ibu.....mengapa ayah mengatakan aku ini anak ikan?"
"Apa?" wanita itu kaget bagai disambar petir mendengar pertanyaan anaknya.
"Benarkah dia berkata seperti itu?"
"Benar bu.... apakah ibu berasal dari ikan?"

Wanita itu tertunduk malu. Ada gurat kesedihan yang dalam di wajahnya, terutama karena suaminya sudah melanggar sumpahnya dengan membongkar asal usulnya di depan anak mereka sendiri.

"Samosir......" kata wanita itu. "Sekarang segera pergilah ke mendaki bukit yang tinggi sana, panjatlah pohon kayu tertinggi yang terdapat dipuncak bukit itu."

"Kenapa Bu...? Ada apakah gerangan?"
"Sudahlah, jangan banyak bertanya, kalau kau ingin selamat cepatlah lakukan perintah ibu."

Tanpa bertanya lagi, si anak segera melakukan perintah ibunya itu. Dia berlari-lari menuju ke bukit tersebut dan mendakinya.

Ketika tampak oleh si ibu anaknya sudah hampir sampai ke puncak pohon kayu yang di panjatnya diatas bukit, diapun berlari menuju sungai yang tidak begitu jauh letaknya dari rumah mereka itu. Begitu tiba di tepi sungai ia berhenti sejenak. "Hai suamiku, karena kau telah melanggarsumpahmu maka aku akan kmebali pada asal mulaku." Demikian kata wanita itu dengan derai air mata.

Pada saat tetes matanya jatuh ke air sungai tiba-tiba kilat menyambar disertai guruh yang menggelegar. Sesaat kemudian ia melompat kedalam sungai dan tiba-tiba berubah menjadi seekor ikan besar.


Pada saat yang sama, turun hujan yang sangat lebat dan sungai itupun banjir besar. Beberapa waktu kemudian, air sungai itu sudah meluap kemana-mana dan tenggelamlah lembah tempat sungai itu mengalir.

Pak Toba yang sedang berjalan ke rumah terkejut sekali melihat alam yang berubah menjadi ganas. Ia mencoba berlari ke arah bukit dimana anaknya Samosir telah memanjat pohon yang tinggi.

Namun usahanya sia-sia belaka. Air hujan bagaikan di jatuhkan seluruhnya dari arah atas langit. Di tambah luapan air sungai, maka Pak Toba tidak bisa menyelamatkan dirinya, ia mati tenggelam oleh genangan air.


Samosir berteriak-teriak ketakutan melihat ganasnya alam. Namun ia tetap berada dipuncak pohon kelapa diatas bukit. "Ibu....tolooooong...........toloooooooooonggggg!"

Hampir dua hari Samosir tak berani turun dari puncak pohon kelapa.

Sementara genangan air itu semakin luas dan berubah menjadi danau yang sangat besar. Sebagian bukit yang didaki Samosir ikut terendam.


Beberapa saat kemudian luapan air dan hujan telah berhenti. Sepertiga dari bukit itu terendam air hingga membentuk pulau kecil di tengah-tengah danau yang sangat luas. Samosir turun dari puncak pohon kelapa dengan tubuh lemas.

Demikianlah, samosir selamat dari banjir dan hujan badai. Namun terpaksa ia hidup di tempat terpencil yang kemudian harinya tempat itu dinamakan "Danau Toba". Sedangkan pulau kecil yang terdapat di tengah-tengahnya di beri nama "Pulau Samosir".

Samosir hidup dengan makan seadanya. Kini anak itu tidak bisa bermalas-malan lagi. Ia harus bekerja keras untuk bisa bertahan hidup. Sekarang ia sadar kenapa ayahnya begitu marah saat makanannya ia habiskan.

Karena itu, bagi anak-anak Indonesia yang masih memiliki kedua orang tua harus bersyukur. Dan jangan malas-malasan membantu orang tua yang sudah menghidupi dan menyekolahkan kita. Tamat.

Dengan selesainya Cerita Rakyat : Asal Mula Danau Toba dan Pulau Samosir ini, kami Imanzenit.com mengucapkan banyak terimaksih untuk semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan hingga di publikasikannya cerita rakyat ini. Mohon maaf atas segala kekurangan yang ada. Baca juga : Cerita Rakyat Aceh : Putri Niwer Gading

You Might Also Like:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar